Definisi
Korioamnionitis atau infeksi intraamniotik adalah infeksi selaput dan kantung ketuban saat kehamilan. Infeksi ini merupakan salah satu infeksi yang serius. Kondisi ini terjadi ketika bakteri menginfeksi chorion, amnion, dan cairan ketuban (cairan amnion) di sekeliling janin. Hal ini dapat menyebabkan persalinan prematur atau infeksi serius pada ibu dan janin.
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) memberikan istilah baru untuk menggantikan istilah korioamnionitis. Istilah tersebut adalah inflamasi atau infeksi intrauteri atau keduanya, disingkat dengan tripe I.
Mesk demikian, peradangan atau infeksi yang terjadi pada ketuban secara umum mash dikenal dengan korioamnionitis.
Penyebab
Korioamnionitis paling sering terjadi akibat masuknya bakteri yang berasal dari saluran organ reproduksi bagian bawah, yaitu serviks dan vagina. Meski demikian, semua wanita hamil dalam kondisi normal memiliki mikroorganisme yang hidup di dalam saluran organ reproduksinya. Selama kehamilan, ibu hamil juga membentuk suatu gumpalan lendir yang menutupi serviks (mucus plug) sehingga bakteri dan mikroorganisme lainnya tidak dapat masuk ke dalam rahim.
Korioamnionitis terjadi ketika mekanisme protektif ini gagal mencegah infeksi atau terdapat terlalu banyak bakteri di saluran reproduksi bagian bawah.
Penyebab lain masuknya bakteri adalah penyebaran bakteri melalui darah akibat adanya bakteri pada darah ibu hamil (bakteremia) yang menembus plasenta atau melalui kontaminasi rongga amnion melalui tindakan kedokteran seperti perabaan vagina setelah pecah ketuban atau prosedur amnionsentesis (pengambilan cairan ketuban untuk diperiksa). Namun, rute masuknya bakteri melalui mekanisme ini jarang terjadi.
Faktor Risiko
Terdapat beberapa hal yang dapat meningkatkan kemungkinan ibu hamil mengalami korioamnionitis, di antaranya:
- Persalinan prematur. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara kedua kondisi ini, namun mekanisme pasti terjadinya kedua kondisi ini tidak diketahui dengan pasti. Terdapat faktor lain selain persalinan prematur yang juga ditemukan pada kasus korioamnionitis, seperti infeksi gusi, tipe darah A dan O, kecanduan alkohol dan obesitas selama kehamilan.
- Pecah ketuban yang terjadi lebih dari 24 jam sebelum persalinan.
- Persalinan yang lama.
- Infeksi vagina, infeksi menular seksual atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan screening dan pengobatan vaginosis bakteri dan infeksi kelamin lainnya diketahui dapat mencegah persalinan prematur, terutama jika dilakukan sebelum kehamilan minggu ke-20.
- Kesehatan gigi mulut yang buruk. Meskipun kontroversial, penelitian-penelitian yang ada menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara infeksi gusi dengan persalinan prematur. Pengobatan infeksi gusi selama kehamilan juga diduga dapat menurunkan angka persalinan prematur.
- Infeksi bakteri group B streptococcus.
- Pemeriksaan vagina yang terlalu sering setelah ketuban pecah.
- Monitoring janin atau rahim internal.
Gejala
Gejala korioamnionitis bervariasi. Berikut tanda dan gejala yang paling umum dijumpai:
- Demam saat persalinan. Hal ini ditandai dengan suhu tubuh sebesar paling tidak 39°C atau 38°C-38,9°C pada dua pemeriksaan berjarak 30 menit tanpa sebab lain yang pasti.
- Meningkatnya denyut jantung ibu hamil, yaitu >120 kali per menit.
- Tekanan darah yang menurun.
- Meningkatknya denyut jantung janin, yaitu >160 kali per menit selama 10 menit atau lebih lama.
- Keluarnya cairan vagina yang bau atau berwarna seperti nanah.
- Gejala lain, seperti rahim yang nyeri dan bekeringat.
Dari tanda dan gejala di atas, yang paling sering dijumpai dan paling utama dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis korioamnionitis adalah demam selama persalinan. Namun, perlu diketahui, demam juga dapat terjadi apabila ibu mendapat anestesi untuk menjalani persalinan. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan ibu menjadi demam setelah mendapat anestesi adalah kehamilan pertama, persalinan yang lama, kelelahan, dehidrasi, dan pecah ketuban yang terjadi lama sebelum persalinan.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Dokter mungkin akan menanyakan faktor risiko yang berhubungan dengan timbulnya korioamnionitis, seperti umur kehamilan kurang bulan dan pecah ketuban. Namun, diagnosis korioamnionitis terutama ditegakkan oleh temuan klinis. Ibu hamil akan diperiksa untuk mengetahui apakah terdapat tanda dan gejala korioamnionitis, seperti pemeriksaan suhu tubuh untuk mendeteksi demam dan pengukuran tekanan darah. Diagnosis korioamnionitis biasanya dapat ditegakkan jika terdapat demam disertai dua gejala lainnya.
Bayi yang baru lahir berisiko untuk mengalami sepsis, yaitu infeksi tubuh yang mengancam jiwa. Bayi yang sepsis biasanya menunjukkan gejala yang tidak spesifik, seperti:
- Gangguan tingkah laku, seperti lemas, tangisan yang lemah, dan tidak mampu menyusu.
- Denyut nadi yang meningkat.
- Napas yang cepat, biru di sekitar mulut dan jari-jari (sianosis) atau bahkan tidak bernapas.
- Kejang.
- Pucat, perdarahan yang berlebihan atau munculnya titik-titik perdarahan pada kulit.
Selain temuan klinis, pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis. Jumlah sel darah putih yang tinggi (leukositosis) dari pemeriksaan darah lengkap atau pemeriksaan urin mendukung diagnosis korioamnionitis, jika diikuti dengan adanya tanda dan gejala korioamnionitis pada ibu hamil.
Dokter juga mungkin akan meminta pemeriksaan kultur vagina atau mengambil sampel cairan amnion untuk memeriksa apakah terdapat kuman di dalama sampel yang diambil. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan ultrasound untuk mengetahui kesehatan janin.
Tata Laksana
Korioamnionitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, sehingga dokter akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi yang terjadi. Antibiotik umumnya diberikan melalui suntikan intravena (suntikan ke dalam pembuluh darah).
Dokter juga mungkin akan menyarankan ibu hamil untuk segera menjalani persalinan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu dan bayinya. Setelah persalinan, pemberian antibiotik mungkin tetap dilanjutkan.
Salah satu antibiotik yang dapat digunakan untuk terapi korioamnionitis adalah Ampisilin. Anda dapat membacanya lebih lanjut di sini Obat Ampicillin Trihydrate.
Komplikasi
Jika ibu hamil mengalami kasus korioamnionitis berat atau kondisi ini tidak ditangani segera, terdapat beberapa komplikasi yang dapat timbul, di antaranya:
- Infekisi di daerah pinggul dan perut
- Infeksi dan peradangan dinding rahim (endometritis)
- Pembentukan gumpalan darah di daerah pinggul atau paru
- Sepsis, yaitu infeksi darah yang mengancam jiwa
Bayi yang baru lahir juga dapat mengalami komplikasi dari infeksi bakteri, termasuk di antaranya:
- Bayi yang mengalami sepsis
- Meningitis
- Gangguan fungsi otak
- Pneumonia
Pencegahan
Pada beberapa kasus, ibu akan tetap mengalami korioamnionitis meskipun sudah melakukan tindakan pencegahan. Checkup rutin kehamilan dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal infeksi. Pada keadaan di mana ketubah pecah lebih dini, pemberian antibiotik dapat dilakukan untuk menghindari infeksi.
Ketika ketuban sudah pecah, pemeriksaan vagina perlu dibatasi untuk tidak dilakukan terlalu sering. Ibu hamil juga dapat melakukan pemeriksaan screening bakteri group B streptococcus di trimester ketiga kehamilan untuk mendeteksi dan mengatasi infeksi yang mungkin terjadi.
Kapan Harus ke Dokter?
Segera hubungi fasilitas kesehatan jika ibu mengalami pecah ketuban. Laporkan kepada petugas jika ibu mengalami demam, nyeri pada perut atau pinggul dan keluarnya cairan yang berbau atau berwarna seperti nanah dari kemaluan, karena hal ini menunjukkan ibu kemungkinan mengalami korioamnionitis.
Mau tahu informasi seputar penyakit lainnya? Cek di sini, ya!
- dr Ayu Munawaroh, MKK