Definisi
Skistosomiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing skistosoma. Cacing jenis ini hidup di perairan air tawar dan banyak ditemukan di daerah pedalaman negara tropis dimana tingkat kebersihan individunya masih sangat rendah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini memerlukan perantara siput air tawar. Oleh karena itu, eradikasinya juga harus melibatkan pembasmian siput di area yang banyak terinfeksi. Skistosomiasis ini juga biasa disebut penyakit demam siput. Penderita yang baru terinfeksi cacing pipih biasanya tidak mengalami gejala. Parasit ini bisa tinggal dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ seperti kandung kemih, ginjal dan hati.
Penyebab
Skistosomiasis terjadi akibat infeksi cacing Schistosoma sp. Ada berbagai jenis cacing skistosoma, namun 5 jenis yang paling banyak menginfeksi adalah :
- S.japonicum, merupakan jenis cacing yang banyak ditemukan di China, Indonesia dan Filipina
- S.Mansoni merupakan jenis yang banyak ditemukan di Afrika, Timur Tengah, kepulauan Karibian, Brazil dan Suriname,
- S. Mekongi merupakan jenis yang banyak ditemukan di Kamboja
- S. Guineensis merupakan jenis yang banyak ditemukan di Afrika
- S. Haematobium merupakan jenis yang banyak ditemukan di Afrika, Timur tengah dan Perancis
Telur cacing ini banyak ditemukan di tanaman air pada perairan air tawar, seperti danau atau sungai. Telur ini kemudian termakan oleh siput yang hidup di perairan tersebut dan menetas menjadi larva di dalam saluran cerna siput. Saat siput mengeluarkan kotoran, larva cacing Scistosoma akan ikut keluar dan mencemari air di area tersebut. Larva ini selanjutnya akan bergerak aktif dan dapat menembus kulit orang yang beraktivitas di perairan yang tercemar tersebut. Larva kemudian hidup dan berkembang di pembuluh darah manusia.
Setelah beberapa minggu, cacing tersebut akan berkembang menjadi dewasa dan mulai bergerak ke organ tubuh lainnya, seperti paru-paru dan hati dan selanjutnya bertelur. Telur yang ikut dikeluarkan saat seseorang buang air besar menjadi sumber infeksi dan turut berperan dalam penyebaran skistosomiasis. kistosomiasis tidak dapat menular antar manusia melalui kontak fisik secara langsung dan tidak akan ditemukan pada kolam renang yang sudah diberi klorin, air laut, dan air yang steril.
Faktor Risiko
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami skistosomiasis yaitu:
- Tinggal atau bepergian ke area dimana sedang terjadi wabah skistosomiasis
- Kontak langsung dengan air tawar, seperti sungai, danau atau waduk
- Memiliki sistem imun yang lemah.
Gejala
Gejala skistosomiasis sering kali tidak terlihat diawal. Biasanya, gejala yang timbul hanya berupa ruam atau gatal di kulit beberapa hari setelah infeksi. Cacing skistosoma dapat hidup dan berkembang di dalam tubuh selama berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun. Pada fase akut (skistosomiasis akut), keluhan atau gejala yang akan muncul adalah :
- Ruam kulit
- Demam
- Nyeri otot dan sendi
- Diare
- Sakit perut
- Lelah dan lemas
- Pusing
- Batuk
Jika infeksi terus berlanjut, akan muncul gejala skistosomiasis kronis dengan gejala tergantung pada organ yang menjadi tempat cacing skistosoma berkembang biak. Gejala meliputi :
- Anemia (kekurangan darah)
- Lemas
- Nyeri perut
- Diare
- BAB dan BAK berdarah
- Batuk yang terus menerus disertai batuk berdarah
- Sesak napas
- Sakit kepala
- Kelemahan pada tungkai atau lumpuh
- Luka atau perdarahan vagina
- Nyeri saat berhubungan seksual
- Adanya benjolan di vagina
- Gangguan fungsi prostat dan saluran di sekitar testis
Infeksi saluran kencing yang tidak tertangani dengan baik dapat meluas ke saluran reproduksi menyebabkan infertilitas (gangguan kesuburan) baik pada pria maupun wanita. Infeksi saluran cerna dapat berakibat pada terjadinya malnutrisi (ketidak seimbangan nutrisi) kronis. Pada anak-anak, malnutrisi berbahaya dan berpotensi menyebabkan anemia, gagal tumbuh dan gangguan perkembangan lainnya. Selain saluran cerna dan kencing, Skistosoma juga dapat menginfeksi organ tubuh lainnya seperti mata, kulit, otak, otot dan kelenjar adrenal. Gejala akan muncul dari masing-masing organ yang terinfeksi.
Diagnosis
Diagnosis skistosomiasis dapat ditegakkan melalui wawancara mendalam (anamnesis) mengenai gejala pasien, riwayat bepergian ke daerah dimana kasus skistosomiasis sering dijumpai serta faktor-faktor risiko lainnya. Pemeriksaan fisik umumnya dilakukan dari kepala hingga ujung kaki untuk mencari adanya kelainan yang disebabkan karena adanya infeksi cacing parasit tersebut. Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan adalah pemeriksaan eosinofil (salah satu jenis sel darah putih), pemeriksaan antibodi, dan pemeriksaan urin atau tinja untuk mendeteksi adanya telur cacing. Cacing parasit penyebab infeksi baru tumbuh dewasa setelah 40 hari, sehingga pemeriksaan darah dapat memberikan keterangan negatif palsu apabila dilakukan sebelum 6-8 minggu setelah pengidap terekspos air yang terkontaminasi.
Jika terdapat gejala sistem pencernaan maupun perkemihan, biopsi rectum (anus) atau kandung kemih dapat dilakukan. Jika belum ditemukan adanya gejala atau kelainan, dokter akan menyarankan pasien yang bepergian ke daerah endemik skistosomiasis untuk kontrol kembali 3 bulan kemudian karena terkadang gejala dapat timbul terlambat.
Tata Laksana
Pengobatan skistosomiasis umumnya dilakukan dengan pemberian obat antiparasit yaitu praziquantel. Praziquantel ini bekerja dengan membunuh cacing-cacing yang ada dalam tubuh penderita. Obat ini sangat efektif untuk memberantas cacing yang telah dewasa. Karena itu, pengobatan ini bisa saja ditunda sampai beberapa minggu setelah terinfeksi, atau kembali diulang pada beberapa minggu setelah mendapat dosis pertama. Obat steroid dapat digunakan untuk menghilangkan gejala skistosomiasis akut, serta skistosomiasis yang telah berdampak pada otak atau sistem saraf.
Apabila skistosomiasis tidak segera diobati dan berlangsung kronis, dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati, kandung kemih, paru-paru dan usus. Gejala-gejala yang bisa muncul meliputi peradangan serta luka pada hati, kandung kemih dan usus. Anak-anak yang secara berulang terinfeksi skistosoma dapat mengalami anemia dan kurang gizi bahkan sampai malnutrisi. Jika tidak segera diobati skistosomiasis dapat menyebabkan kejang, bahkan sampai kelumpuhan dan kematian.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat infeksi cacing skistosoma yaitu antara lain:
- Perdarahan saluran cerna
- Penyumbatan pada lambung, usus, hati atau kandung kemih
- Malnutrisi
- Infeksi ginjal
- Sepsis (infeksi yang menyebar melalui pembuluh darah)
- Kelumpuhan
- Kemandulan (infertilitas)
- Anemia berat
- Gagal ginjal kronis
- Kerusakan hati kronis
- Peradangan usus besar
- Hipertensi pulmonal
- Gagal jantung
Pencegahan
Skistosomiasis dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan air tawar yang berpotensi terkontaminasi cacing skistosoma. Apabila Anda sedang berada di area yang berpotensi terkontaminasi cacing skistosoma, Anda dapat melakukan langkah-langkah pencegahan berikut:
- Menggunakan celana dan sepatu boot anti-air
- Jaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
- Konsumsi air matang atau air mineral yang terjamin kebersihannya
- Gunakan air bersih untuk keperluan mandi dan mencuci. Jika tidak yakin dengan kebersihan air yang akan digunakan, rebus dulu air sampai mendidih lalu diamkan air dalam keadaan mendidih selama 1 menit, baru matikan api.
Kapan Harus ke Dokter ?
Segera periksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala seperti yang disebutkan diatas, terutama jika belum lama ini Anda berenang, mandi atau beraktivitas di sungai, danau, atau waduk. Jika terdiagnosis menderita skistosomiasis, penderita perlu kontrol rutin ke dokter untuk mencegah penyebaran infeksi dan terjadinya komplikasi.
Mau tahu informasi seputar penyakit lainnya? Cek di sini, ya!
- dr Nadia Opmalina
WebMD (2019). Schistosomiasis.
Centers for Disease Control and Prevention (2018). Parasites Schistosomiasis.
National Institute of Health (2018). U.S. National Library of Medicine MedlinePlus. Schistosomiasis.
Colley, et al. (2015). Human schistosomiasis. HHS Author Manuscripts Journal, 383 (9936), pp. 2253-2264.