• Beranda
  • Nutrisi
  • Benarkah Makan Makanan Bersantan Menyebabkan Kolesterol Meningkat?

Benarkah Makan Makanan Bersantan Menyebabkan Kolesterol Meningkat?

Benarkah Makan Makanan Bersantan Menyebabkan Kolesterol Meningkat?

Bagikan :


Santan adalah bahan masakan yang banyak dijumpai pada makanan Indonesia. Masakan seperti gulai, opor, nasi kuning, sayur nangka, tongseng dan lainnya menggunakan santan sebagai bahan utama. Di balik kelezatannya, santan ternyata menyimpan risiko bagi kesehatan. Mengonsumsi makanan bersantan sering dikaitkan dengan kolesterol tinggi. Benarkah demikian?

 

Kandungan nutrisi pada santan

Santan kerap dianggap sebagai penyebab masakan menjadi tidak sehat karena menyebabkan kolesterol tinggi. Namun tahukah Anda bahwa santan yang terbuat dari perasan parutan daging kelapa ini justru tidak mengandung kolesterol sama sekali? Dilansir dari Mayo Clinic, santan mengandung nol miligram kolesterol. Dalam satu cup santan mengandung 552 kalori, 57 gram lemak, 5 gram protein, 13 gram karbohidrat, dan 5 gram serat.

Meski tak mengandung kolesterol, namun santan mengandung lemak jenuh yang cukup tinggi. Menurut USDA, dalam 100 gram santan mengandung 21 gram lemak jenuh. Jumlah ini cukup tinggi dibandingkan susu sapi dan selai kacang. Akan tetapi, jenis lemak jenuh pada santan adalah jenis trigliserida rantai sedang yang mudah larut dalam air, bukan trigliserida rantai panjang. Lemak jenis ini lebih mudah dibakar menjadi energi sehingga hanya sedikit lemak yang tersisa di jaringan tubuh.

 

Benarkah mengonsumsi santan dapat meningkatkan kadar kolesterol?

Sejumlah penelitian mengungkap fakta lain seputar santan dan kolesterol. Dilansir dari Healthline, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa santan dapat meningkatkan kolesterol baik dalam darah. Dalam penelitian yang dilakukan pada 60 pria terungkap bahwa mengonsumsi bubur yang dimasak dengan santan dapat menurunkan kolesterol jahat (LDL) lebih banyak jika dibandingkan bubur susu kedelai. Bubur santan kelapa juga meningkatkan kolesterol baik (HDL) hingga 18%, lebih tinggi dari bubur susu kedelai yang mencatat angka 3%.

Sementara itu dalam penelitian lain terungkap bahwa mengonsumsi santan dapat menaikkan baik kolesterol baik maupun kolesterol jahat dalam darah. Para ahli menyatakan bahwa masih perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara santan dengan kadar kolesterol dalam darah.

Melansir dari laman WebMD, mengingat kalori dan kadar lemak jenuh dalam santan cukup tinggi, para ahli menganjurkan untuk tidak mengonsumsi santan dalam jumlah banyak. Selain itu, cara mengolah santan juga sangat berpengaruh pada kadar kolesterol dalam makanan tersebut.

 

Tips aman memasak santan agar tidak meningkatkan kolesterol

Bagi Anda yang gemar masakan bersantan, perlu mewaspadai konsumsi santan sehari-hari. Santan mengandung asam lemak dan trigliserida yang mudah dibakar oleh tubuh. Lemak jenis ini jika dipanaskan dapat membentuk minyak yang dapat meningkatkan kolesterol jahat dalam darah. Untuk itu, hindari memasak santan terlalu lama hingga mendidih agar menjaga kolesterol dalam batas aman. Selain itu, usahakan untuk tidak memanaskan santan berkali-kali karena dapat menimbulkan lemak jahat.

Tak hanya cara memasak, bahan masakan lain yang digunakan untuk memasak juga dapat memengaruhi kadar kolesterol pada masakan bersantan. Sebagian besar masakan bersantan di Indonesia memadukan santan dengan bahan lain yang memiliki kolesterol tinggi seperti telur, daging juga jeroan. Kombinasi inilah yang membuat masakan bersantan menjadi berbahaya bagi kesehatan, terutama jika makanan tersebut sering dipanaskan berulang kali. Selain dapat meningkatkan kolesterol, makanan tersebut juga mengandung kalori tinggi yang dapat memicu kegemukan.

 

Santan bukan hanya memberi rasa gurih pada masakan, namun juga memiliki manfaat bagi kesehatan. Namun jika dimasak dengan cara yang tidak tepat maka dapat menghilangkan nutrisinya dan memicu sejumlah penyakit. Untuk itu, batasi mengonsumsi makanan bersantan setiap harinya demi menjaga kadar kolesterol di angka normal.

 

Writer: Ratih

Edited by: dr. Nadya Hambali

Last updated: 21-Juli-2021