Sejak pertama kali ditemukan 40 tahun lalu, infeksi HIV/AIDS hingga kini menjadi salah satu penyakit mematikan yang berkembang pesat di masyarakat. Dilansir dari UNAIDS, sekitar 37,7 juta orang di dunia terinfeksi HIV di tahun 2020 dan 1,5 juta di antaranya merupakan pasien baru. Di antara data tersebut 1,7 juta di antaranya adalah pasien HIV usia anak-anak (0-14 tahun) dan sebagian besar pasien HIV adalah perempuan dewasa dan remaja putri.
Tingginya angka penyebaran HIV/AIDS ini disebabkan oleh masih banyaknya mitos dan kesalahpahaman yang beredar di masyarakat. Belum lagi stigma yang melekat pada pasien HIV/AIDS juga menyebabkan pasien HIV/AIDS dikucilkan dan enggan mencari informasi dan pengobatan yang tepat. Sementara itu, minimnya pemahaman mengenai penularan HIV/AIDS juga mendorong maraknya perilaku yang dapat meningkatkan penyebaran HIV/AIDS.
Mitos seputar HIV dan AIDS
1. Infeksi HIV sama dengan AIDS
Infeksi HIV sering disamaartikan dengan penyakit AIDS. Padahal, keduanya adalah hal yang berbeda. HIV adalah nama virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia sementara AIDS adalah jenis penyakit yang muncul akibat infeksi HIV dalam jangka panjang yang merusak sistem kekebalan tubuh.
AIDS merupakan penyakit kronis yang terdiri dari sekumpulan gejala infeksi akibat lemahnya daya tahan tubuh. Akibatnya, pasien yang terinfeksi HIV berisiko tinggi pada masalah kesehatan lainnya.
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang positif HIV akan berkembang menjadi AIDS. Semakin cepat seseorang melakukan pemeriksaan HIV dan mendapat pengobatan yang tepat maka risiko HIV berkembang menjadi AIDS dapat diminimalisir.
2. Orang yang terinfeksi HIV tidak dapat disembuhkan
Meskipun angka kematian akibat HIV/AIDS cukup tinggi dan saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV, namun dengan penanganan dan perubahan gaya hidup yang tepat, pasien HIV dapat memiliki harapan hidup yang baik.
Pasien HIV bisa mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) yang berfungsi untuk memperlambat perkembangan virus. Pasien juga disarankan untuk segera mengonsumsi ARV setelah didiagnosis positif HIV agar pertumbuhan virus dapat dikendalikan secepatnya.
3. Berada di sekitar orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat menularkan HIV
Minimnya pengetahuan mengenai cara penularan HIV/AIDS membuat pasien HIV kerap mendapat stigma negatif. Berada di sekitar ODHA, bergaul, berpelukan, berjabat tangan, cipika-cipiki, makan bersama dengan ODHA tidak dapat menularkan HIV/AIDS.
HIV hanya dapat ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh yang terkontaminasi HIV dalam viral load yang cukup tinggi seperti darah, air mani, ASI, cairan vagina dan anus. Penularan HIV paling umum terjadi melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik secara bergantian dan menyusui.
4. Orang yang positif HIV tidak bisa memiliki anak
Pasangan yang mengalami positif HIV tetap dapat memiliki anak secara normal. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa ibu dapat menularkan HIV pada janin yang dikandungnya. Untuk itu, bagi ibu hamil yang positif HIV disarankan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin dan mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter demi mengurangi risiko penularan HIV pada janin.
5. Pasien HIV yang rutin minum obat tidak bisa menularkan HIV
Meskipun ARV dianggap efektif untuk menekan jumlah virus, namun bukan berarti pasien HIV positif bebas melakukan kegiatan yang memicu penularan virus. Para ahli menyarankan pasien HIV tetap berhati-hati karena pertukaran cairan tubuh meskipun dengan viral load sedikit tetap berisiko menularkan penyakit.
Itulah beberapa mitos seputar HIV yang beredar di masyarakat. Jika Anda memiliki faktor risiko terinfeksi HIV, maka segera konsultasi dan lakukan pemeriksaan ke dokter agar mendapat informasi dan penanganan yang benar. Semakin cepat HIV terdeteksi dan ditangani maka peluang kesembuhan juga akan semakin besar.
- dr Ayu Munawaroh, MKK