Definisi
Retinopati prematuritas adalah gangguan pada retina (lapisan belakang mata) yang terjadi pada bayi prematur dengan berat kurang dari 1500 gram dan lahir pada usia kehamilan 31 minggu (usia kehamilan cukup bulan adalah 37-42 minggu). Semakin kecil berat badan bayi, semakin besar peluang menderita retinopati prematuritas. Retinopati prematuritas biasanya terjadi pada kedua mata dan merupakan salah satu penyebab kebutaan tersering pada anak. Retinopati prematuritas pertama kali ditemukan pada tahun 1942.
Saat ini, dengan perawatan pada bayi baru lahir yang semakin berkembang, bayi prematur dapat segera ditangani dan diselamatkan penglihatannya jika mengalami retinopati prematuritas. Di Amerika serikat, ditemukan hampir 3,9 juta bayi baru lahir mengalami retinopati prematuritas. Sekitar 14-16 ribu dari bayi-bayi tersebut memiliki tingkat keparahan yang berbeda. Gangguan mata ini dapat membaik dan tidak menyisakan kerusakan pada mata jika segera ditangani.
Sekitar 90% bayi prematur dengan retinopati prematuritas berada pada tingkat keparahan yang rendah dan tidak memerlukan penanganan. Namun, bayi dengan derajat penyakit yang parah dapat menyebabkan kebutaan. Setiap tahunnya, ditemukan 1.100-1.500 bayi dengan retinopati prematuritas yang parah. Di Amerika, 400-600 bayi menderita kebutaan setiap tahunnya.
Retinopati prematuritas dibedakan menjadi lima derajat keparahan:
- Derajat 1. Terdapat pertumbuhan pembuluh darah tidak normal yang ringan pada retina. Anak-anak pada derajat ini dapat sembuh tanpa terapi dan tidak menunjukkan perkembangan penyakit di kemudian hari.
- Derajat 2. Pertumbuhan pembuluh darah tidak normal pada retina yang tergolong sedang. Pada derajat 2 ini, anak dapat sembuh tanpa terapi dan memiliki penglihatan yang normal di kemudian hari.
- Derajat 3. Pertumbuhan pembuluh darah tidak normal pada retina yang lebih berat dibanding derajat 2. Anak masih dapat sembuh tanpa terapi dan memiliki penglihatan yang normal. Namun, ketika anak memiliki kelainan lain, seperti pembuluh darah retina yang membesar dan terpuntir, hal ini menunjukkan pemburukan pada penyakit. Pada kondisi ini, perlu dilakukan penanganan untuk mencegah ablasio retina, yaitu retina terlepas dari dinding bola mata.
- Derajat 4. Ablasio retina sebagian. Pada retinopati ini, terdapat jaringan parut di retina yang terbentuk sebagai sisa proses perdarahan retina. Jaringan parut dapat menarik retina sehingga terlepas dari tempatnya.
- Derajat 5. Ablasio retina total dan merupakan derajat akhir dari penyakit ini. Jika tidak ditangani, bayi akan mengalami gangguan penglihatan berat dan bahkan kebutaan.
Sebagian besar bayi dengan retinopati prematuritas berada pada derajat 1 dan 2. Namun, pada sebagian kasus, retinopati memburuk dengan sangat cepat.
Penyebab
Pertumbuhan pembuluh darah retina yang belum sempurna pada bayi prematur berperan terhadap munculnya retinopati prematuritas. Pada bayi prematur, terkadang terdapat bagian pada retina yang tidak memiliki pembuluh darah karena belum tumbuh sempurna. Akibatnya, bagian tersebut tidak mendapat nutrisi yang cukup. Bagian yang kekurangan nutrisi tersebut akan mengirimkan sinyal pada bagian lain yang memiliki pembuluh darah untuk membuat pembuluh baru pada bagian yang kosong. Namun, pembuluh darah tersebut tumbuh tidak normal sehingga memiliki dinding yang rapuh dan mudah pecah. Jika terjadi perdarahan, akan menyisakan jaringan parut pada retina dan dapat menarik retina dari tempat penempelannya (ablasio retina). Ablasio retina menjadi penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada retinopati ini.
Faktor Risiko
Selain akibat usia dan berat badan bayi prematur yang kurang, terdapat beberapa faktor yang ikut berperan terhadap timbulnya retinopati prematuritas seperti anemia, transfusi darah, distres pernapasan, dan kondisi kesehatan bayi secara menyeluruh.
Retinopati prematuritas banyak terjadi pada tahun 1940 hingga awal 1950 ketika rumah sakit mulai menggunakan terapi oksigen yang berlebihan untuk menyelamatkan bayi prematur. Kemudian ditemukan bahwa penggunaan oksigen yang berlebihan tersebut menjadi faktor risiko yang penting terhadap kejadian retinopati prematuritas. Dengan teknologi dan metode terapi oksigen terkini, penggunaan oksigen dapat diatur sehingga tidak membahayakan bayi yang lahir prematur, terutama bagian matanya.
Gejala
Sebagian tanda retinopati prematuritas terjadi di dalam mata sehingga sulit terlihat dari luar. Hanya dokter mata anak yang dapat mendeteksinya menggunakan alat pemeriksaan khusus retina bayi. Retinopati prematuritas yang berat dan tidak diobati dapat menimbulkan gejala sebagai berikut:
- Pupil berwarna putih (leukoria)
- Pergerakan mata yang tidak normal (nistagmus)
- Mata juling (strabismus)
- Rabun jauh yang berat (miopia)
Diagnosis
Dokter mata yang telah terlatih memeriksa mata bayi akan mendiagnosis melalui pemeriksaan fisik langsung pada mata. Dokter akan melihat ke dalam bola mata bayi menggunakan alat, yang sebelumnya telah diberi tetes mata khusus untuk memperlebar bukaan pupil (bagian hitam pada tengah mata) agar pemeriksaan lebih jelas terlihat.
Gambaran hasil pemeriksaan berdasarkan derajat keparahan penyakit antara lain:
- Derajat 1, tampak garis batas antara retina normal dan retina prematur
- Derajat 2, tampak garis batas yang lebih tinggi dan lebar
- Derajat 3, tampak pertumbuhan pembuluh darah yang tidak normal
- Pada derajat yang lebih berat, pembuluh darah yang tidak normal tumbuh semakin besar dan berliku (plus disease)
Tata Laksana
Terapi paling efektif untuk retinopati prematuritas adalah terapi laser dan cryoterapi. Terapi laser dilakukan dengan cara membakar bagian pinggir retina yang tidak memiliki pembuluh darah. Sementara, cryoterapi bekerja dengan cara membekukan pinggiran retina. Kedua terapi tersebut bertujuan untuk menghilangkan bagian retina tanpa pembuluh darah serta memperlambat dan menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang tidak normal. Sayangnya, terapi tersebut dapat mengganggu lapang pandang pada sisi samping pasien. Namun, kedua terapi tersebut efektif untuk menyelamatkan bagian terpenting dari penglihatan, yaitu penglihatan pusat, yang sering digunakan untuk melakukan aktivitas yang memerlukan penglihatan lurus ke depan seperti membaca, menjahit, dan mengemudi.
Kedua terapi di atas hanya dilakukan pada derajat berat, terutama derajat 3 dengan plus disease. Pada derajat yang lebih lanjut, pilihan terapinya antara lain:
- Scleral buckle. Pada terapi ini, akan dipasang pita silikon yang kencang di sekeliling bola mata. Hal ini bertujuan menjaga agar vitreus (cairan bening di dalam bola mata) tidak menarik jaringan parut dan menjaga agar retina tetap menempel pada dinding bola mata. Pita silikon akan dilepas beberapa tahun kemudian seiring bertumbuhnya bola mata anak. Jika tidak, anak dapat menderita rabun jauh. Scleral buckle biasanya dilakukan pada derajat 4 atau 5.
- Vitrektomi, yaitu operasi pengangkatan vitreus dan digantikan dengan cairan saline (cairan yang kandungannya mirip dengan cairan tubuh). Setelah vitreous diangkat, jaringan parut dapat dibuang sehingga retina dapat menempel di dinding mata dengan rata. Operasi ini dilakukan pada derajat 5.
Komplikasi
Bayi dengan retinopati prematuritas berisiko tinggi mengalami gangguan mata tertentu di kemudian hari seperti ablasio retina, miopia (rabun jauh), strabismus (juling), ambliopia (mata malas), dan glaukoma. Pada beberapa kasus, masalah ini dapat ditangani dan dikontrol.
Pencegahan
Bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram dan prematur dengan usia kehamilan kurang dari 31 minggu, perlu dilakukan pemeriksaan mata untuk mendeteksi retinopati prematuritas sejak dini. Bayi yang dianggap memiliki faktor risiko tinggi oleh dokter juga perlu segera diskrining.
Asosiasi dokter anak Amerika telah membuat pedoman skrining retinopati prematuritas untuk bayi baru lahir yang dirawat di ruang intensif (ICU). Banyak kasus retinopati prematuritas yang terdeteksi melalui skrining tersebut.
Kapan Harus ke Dokter?
Jika anak Anda mengalami gejala retinopati prematuritas di atas, Anda harus segera berkonsultasi dengan dokter mata.
Mau tahu informasi seputar penyakit lainnya? Cek di sini, ya!
- dr Nadia Opmalina