Duchenne Muscular Distrophy

Duchenne Muscular Distrophy

Bagikan :


Definisi

Duchenne Muscular Distrophy atau disingkat DMD adalah penyakit kongenital/bawaan yang disebabkan oleh mutasi genetik. Perubahan genetik tersebut menyerang otot dan saraf yang ditandai dengan kelemahan otot progresif. Gen yang mengalami mutasi adalah gen DMD terkait dengan kromosom X, sehingga penyakit ini dapat terjadi pada laki-laki. Mutasi pada gen DMD menyebabkan gangguan protein distrofin pada sel otot yang berperan penting dalam stabilisasi membran sel.

Insiden DMD diperkirakan terjadi 1 dari 3.500-5.000 kelahiran anak laki-laki, sehingga penyakit ini terbilang sangat jarang terjadi. Kelemahan pada otot awalnya berupa kesulitan dalam berjalan, tetapi secara progresif berkembang hingga pasien yang terkena tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan harus menggunakan kursi roda.

Keterlambatan motorik kasar dan/atau penurunan fungsi motorik dapat terjadi pada usia 5 tahun. Kondisi kelemahan otot terjadi progresif hingga pasien DMD menjadi ketergantungan terhadap kursi roda karena kelemahan otot tungkai sehingga tidak bisa berjalan pada usia rata-rata 13 tahun.

Pasien DMD umumnya didiagnosis pada usia sekitar 4 tahun. Seiring perkembangan penyakit, pasien menjadi tidak dapat berjalan biasanya pada awal usia remaja, diikuti dengan kehilangan kekuatan otot dan fungsi ekstremitas atas.

 

Penyebab

Duchenne Muscular Distrophy disebabkan oleh mutasi gen distrofin yang terkait dengan kromosom seks X. Gen distrofin adalah salah satu gen terbesar dalam genom manusia. Mutasi genetik pada DMD menyebabkan produksi protein distrofin menjadi terbatas sehingga struktur otot menjadi abnormal. Jaringan ikat fibrosa dan lemak secara progresif akan menggantikan jaringan otot, sehingga terjadi gejala berupa kelemahan otot.

Distrofin banyak terdapat dalam otot, khususnya otot lurik, jantung, otak, dan retina mata. Distribusi distrofin pada otak lebih sedikit daripada di otot. Namun, hal ini tetap berpengaruh terhadap gangguan sistem saraf pusat pada penyakit DMD.

Penyakit ini termasuk penyakit bawaan yang bersifat keturunan. Namun, sekitar 30% kasus DMD bisa terjadi oleh mutasi baru. Laki-laki memiliki 46 kromosom dengan kromosom seks XY, sedangkan perempuan memiliki 46 kromosom dengan kromosom seks XX, sehingga adanya mutasi terkait kromosom seks X akan menunjukkan gejala pada laki-laki dibandingkan perempuan yang hanya bersifat carrier atau pembawa. Carrier ini pada umumnya tidak menunjukkan gejala, namun pada beberapa kasus menunjukkan spektrum gejala mulai dari kram atau kelemahan pada otot dengan intensitas ringan hingga berat. Sekitar 2,5-20% perempuan carrier kemungkinan menunjukkan gejala klinis. 

 

Faktor Risiko

Kejadian penyakit DMD dapat timbul secara acak karena adanya mutasi genetik. Oleh karena itu, faktor risiko penyakit juga masih belum diketahui secara pasti. Namun, apabila terdapat riwayat keluarga dengan DMD, maka perlu diwaspadai risiko terjadinya DMD pada keturunan keluarga tersebut.

 

Gejala

Pertumbuhan dan perkembangan anak dengan DMD dalam beberapa tahun pertama kehidupan pada umumnya masih normal atau sedikit tertunda dibandingkan dengan anak tanpa DMD. Kecepatan pertumbuhan yang lebih lambat menyebabkan perawakan pendek yang ditemukan pada usia sekitar 4 tahun. Pada bayi, dapat terjadi kelemahan kontraksi otot yang disebut dengan hipotonia. Misalnya, bayi tidak mampu mengangkat kepala. Gejala tersebut dapat menjadi tanda awal DMD.

Selain itu, pada masa kanak-kanak, dapat timbul kelemahan otot wajah, kelemahan dan kesulitan bergerak serta berjalan, dan cara berjalan yang tidak normal. Cara berjalan yang dapat terlihat misalnya berjinjit, kesulitan berlari, menaiki tangga, dan sering jatuh. Gaya berjalan menjinjit atau menyeret kaki umum terjadi pada pasien DMD hingga pasien tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda pada usia 12 atau 13 tahun.

Adanya kelainan tulang belakang seperti lordosis dan skoliosis disertai dengan kontraktur kekakuan otot dapat terjadi. Akibat skoliosis, fungsi paru dapat terganggu, sehingga menyebabkan kesulitan dalam bernapas.

Kontraktur atau kekauan dan menurunnya massa otot pada pergelangan kaki, lutut, pinggul, dan siku dapat terlihat. Ketidakproposionalan antara otot betis yang membesar dibandingkan dengan otot paha yang mengecil atau yang disebut dengan pseudohipertrofi betis menjadi gejala khas pada DMD.

Kelemahan otot faring dapat mengakibatkan aspirasi, yaitu makanan masuk ke saluran napas bukan ke saluran cerna. Gejala lain berupa ketidakmampuan untuk menahan BAK dan BAB karena kelemahan otot saluran kemih dan anus. Namun, kondisi ini jarang terjadi pada pasien DMD.

Gangguan intelektual terlihat pada semua pasien DMD. Namun, hanya 20-30% pasien yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) kurang dari 70 (IQ di bawah 70 merupakan indikator retardasi mental). Derajat gangguan IQ tidak berhubungan dengan keparahan penyakit. Sebagian besar pasien hanya mengalami gangguan belajar ringan dan dapat mengikuti kelas reguler seperti pada anak tanpa DMD. 

 

Diagnosis

DMD harus dicurigai pada pasien dengan gejala kelemahan otot, khususnya jika ditemukan tanda dan gejala pada pemeriksaan fisik yang khas. Selain itu, bila ada kemungkinan riwayat penyakit dalam keluarga.

Diagnosis penyakit ini melibatkan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan kreatinin kinase, yaitu hasil pemecahan otot berupa enzim yang kadarnya meningkat pada DMD. Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan seperti biopsi otot, analisis gen yang mengalami mutasi, elektrokardiogram (EKG), dan echocardiogram. Elektromiografi untuk memeriksa kecepatan konduksi saraf motorik dan sensorik juga dapat dilakukan.

 

Tata Laksana

Hingga saat ini, pengobatan pasti untuk DMD belum ditemukan. Manajemen pengobatan hanya disesuiakan dengan gejala saja. Namun, perlu pengawasan keluarga yang proaktif kepada pasien DMD guna mencegah komplikasi dan mempertahankan kelangsungan hidup pasien. Hal ini dilakukan agar kualitas hidup pasien juga semakin baik. Angka harapan hidup rata-rata pasien DMD, yaitu hingga usia 29 atau 30 tahun.

 

Komplikasi

Komplikasi jantung dan pernapasan menjadi komplikasi terbanyak dan menjadi penyebab kematian pasien. Kematian biasanya terjadi pada usia sekitar 20 tahun.

 

Pencegahan

Skrining pada keluarga dapat menjadi pilihan upaya pencegahan penyakit DMD. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui riwayat penyakit keluarga yang mengalami penyakit DMD sebelum melakukan pernikahan. Diagnosis lebih dini merupakan hal yang berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup pasien di kemudian hari, sehingga pencegahan terhadap komplikasi dapat diperlambat.

 

Kapan Harus ke Dokter?

Saat anak memberikan tanda dan gejala keterlambatan atau abnormalitas perkembangan khususnya dalam pergerakan otot pada saat berjalan, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap penyebab yang mendasari. Orang tua perlu mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak normal sehingga penyakit ini dapat dideteksi lebih dini dan mendapat perawatan yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

 

Mau tahu informasi seputar penyakit lainnya? Cek di sini, ya!

 

Writer : dr Ulfayanti Syahmar
Editor :
  • dr Ayu Munawaroh, MKK
Last Updated : Rabu, 11 September 2024 | 14:56